Konkusio
Seorang wanita
berusia 64 tahun tergelincir, lalu terjatuh ke depan dan kepalanya terbentur.
Pasien tersebut memiliki riwayat kejang yang berlangsung singkat, dan tidak
memberikan respon apapun selama kurang dari 1 menit, lalu sadar dengan disertai
rasa nyeri kepala menyeluruh yang sangat berat dan mual namun tidak disertai
muntah. Selain kejadian terjatuh, wanita tersebut tidak mengingat kejadian
apapun dalam beberapa jam sebelumnya. Rasa nyeri dan kontusio pada kulit kepala
dapat terlihat lokasi benturan, dan terdapat abrasi pada pipi kanan.
Masalah Klinis
Konkusio
merupakan suatu kondisi di mana terjadi kehilangan kesadaran yang berlangsung
dengan cepat dan bersifat sementara yang disertai periode amnesia setelah
terjadinya benturan pada kepala. Kasus seperti ini sering ditemukan, terjadi
pada 128 pasien per 100.000 populasi di Amerika Serikat tiap tahun, yang
membuat hampir semua dokter pernah dipanggil untuk memberikan pertolongan di
tempat kejadian atau untuk mengatasi sekuele dari konkusio. Status klinis
berupa sensasi kebingungan, pasca cedera kepala bisa saja tidak disertai
periode hilangnya kesadaran, namun pada umumnya hal tersebut tetap dianggap
sebagai bentuk paling ringan dari konkusio kepala. Anak kecil merupakan
kelompok populasi yang paling sering mengalami konkusio. Kecelakaan olahraga
dan bersepeda merupakan penyebab tersering timbulnya konkusio pada anak yang
berusia 5 hingga 14 tahun, sedangkan terjatuh dan kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab tersering konkusio pada orang dewasa.
Ada kerancuan
yang timbul di antara para dokter dan orang awam mengenai konkusio dan sindrom
pasca-konkusio. Lamanya amnesia konkusio berkorelasi secara langsung dengan
durasi kehilangan kesadaran dan beratnya cedera kepala. Amnesia anterograde
(ketidakmampuan menyerap informasi baru) dan amnesia retrograde, ketidakmampuan
mengingat momen yang terjadi sebelum kecelakaan, atau bahkan momen yang terjadi
selama beberapa hari atau bahkan tahunan yang lalu, bisa saja ditemukan pada
pasien konkusio. Pada beberapa kasus khusus, benturan kepala yang sangat ringan
dapat menyebabkan gangguan memori yang dapat bertahan selama beberapa jam.
Periode hilangnya memori anterograde cenderung lebih cepat jika dibandingkan
dengan periode hilangnya memori retrograde, dan keduanya dapat membaik dengan
sendirinya dalam beberapa jam atau kurang. Konkusio tidak menyebabkan hilangnya
informasi autobiografi, seperti nama dan tanggal lahir; jika terjadi hilang
ingatan terhadap informasi tersebut, maka itu bisa jadi merupakan gejala
histeria atau malingering. Pasien yang mengalami amnesia yang berhubungan
dengan konkusio biasanya gejalanya tidak ringan, bahkan terkadang menyerupai
amnesia global transien.
Episode konvulsi
tunggal yang berlangsung singkat beberapa setelah terjadinya konkusio,
seringkali menimbulkan masalah baru yang berhubungan dengan masalah bangkitan.
Mekanisme kejadian tersebut hingga saat ini tidak diketahui, namun konvulsi
yang berlangsung singkat yang tidak disebabkan oleh epilepsi biasanya tidak
membutuhkan medikasi antikonvulsan. Konkusio yang derajatnya lebih berat bisa
saja diikuti oleh keadaan kebingungan atau delirium bahkan tertidur yang lama.
Hilangnya
kesadaran dalam waktu singkat yang timbul pada konkusio nampaknya diakibatkan
oleh adanya gaya rotasional yang terjadi pada perbatasan antara mesensefalon
superior dan thalamus sehingga hal tersebut mengganggu fungsi neuron retikuler
yang mempertahankan kesadaran manusia (gambar 1). Mekanisme lain, seperti
kejang atau peningkatan tekanan intrakranial, juga dianggap sebagai faktor yang
berperan namun hanya sedikit bukti yang mendukungnya. Penyebab timbulnya
amnesia hingga saat ini masih belum diketahui.
Strategi dan Bukti
Evaluasi
Pasien yang mengalami Konkusio
Pasien yang
mengalami konkusio harus dipertahankan jalan napasnya agar tetap paten dan kita
harus waspada dengan kemungkinan timbulnya cedera leher. Jika pasien mengalami
nyeri leher, maka tindakan imobilisasi servikal merupakan hal yang wajib
dilakukan. Semua pasien konkusio wajib dibawa ke unit gawat darurat untuk
mendapatkan evaluasi, meskipun banyak pasien yang menolaknya.
Kriteria
Untuk melakukan Pencitraan Kranial
Hal yang harus
dikhawatirkan pada pasien konkusio adalah timbulnya perdarahan subdural,
epidural maupun perdarahan parenkim, meskipun hanya sekitar 10% yang mengalami
perdarahan intrakranial pasca-konkusio, dan kurang dari 2% yang membutuhkan
bedah saraf. CT scan kranial yang tanpa kontras sudah cukup adekuat untuk
mendeteksi perdarahan intrakranial; MRI tidak diperlukan.
Tanda-tanda
neurologis seperti hemiparese atau buruknya kesadaran merupakan indikasi utama
untuk melakukan CT. Hanya saja, hingga saat ini masih sulit untuk memprediksi
pasien yang layak untuk menjalani pemeriksaan radiologi. Bukti yang pemeriksaan
klinis yang menunjukkan bahwa cedera yang dialami oleh pasien tergolong ringan
masih belum dapat memastikan bahwa pasien tidak memiliki lesi intrakranial.
Sebagai contoh, 209 dari 1538 pasien yang pada pemeriksaan klinis menunjukkan
hasil normal ternyata memiliki kelainan pada pemeriksaan CT scan, dan 58 dari
mereka membutuhkan intervensi bedah saraf. Berdasarkan temuan tersebut maka
beberapa peneliti menyarankan agar semua pasien konkusio harus di-CT scan,
suatu tindakan yang justru akan menghasilkan lebih banyak hasil pemeriksaan
yang negatif. Di masa lalu, keberadaan fraktur kranium sudah dianggap sebagai
salah satu pertanda timbulnya cedera intrakranial, namun berbagai bukti terbaru menunjukkan bahwa
fraktur sederhana tidak menghasilkan banyak energi pada benturan sehingga tidak
bisa dijadikan indikator yang kuat untuk mengetahui perdarahan intrakranial.
Beberapa jenis fraktur, seperti fraktur depresi atau yang melibatkan basis
kranium, justru menimbulkan dampak yang lebih besar.
Untuk
memperketat kriteria CT scan, beberapa aturan keputusan klinis telah
dikembangkan. Ada dua aturan keputusan klinis yang saat ini telah tervalidasi
secara prospektif, yakni the New Orleans Criteria dan the Canadian CT Head
Rule. Masing-masing aturan tersebut memiliki tujuh kriteria, namun kesamaan di
antara kedua aturan tersebut hanyalah usia dan gejala muntah (tabel 1). Dari
dua penelitian prospektif dengan banyak sampel pada cedera kepala ringan,
dilakukan penilaian berbagai gambaran klinis yang secara esensial dapat
mengidentifikasi pasien-pasien yang seharusnya menjalani operasi bedah saraf.
Pada salah satu penelitian ini, Canadian Rule memiliki sensitifitas yang
sedikit lebih rendah dari New Orleans Rule. Namun, kedua aturan tersebut
memiliki spesifisitas yang sama-sama rendah, meskipun Canadian Rule masih
sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan New Orleans Rule. Penggunaan
Canadian Rule dapat mengurangi lebih banyak jumlah pasien yang menjalani CT
scan jika dibandingkan penggunaan New Orleans Rule (tabel 1). Karena pasien
yang berusia 15 tahun atau kurang dari 15 tahun dieksklusi dari penelitian,
maka penggunaan kedua aturan tersebut pada kelompok usia 15 tahun atau kurang,
masih belum dapat terjamin.
Penting untuk mengingat
bahwa tidak ada aturan klinis pasti yang dapat menentukan perlu tidaknya
seorang pasien untuk menjalani pemeriksaan CT scan. Dalam menggunakan kedua
aturan tersebut, dokter harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian tindakan
pemeriksaan radiologi berdasarkan kondisi pasien. Dengan keterbatasan tersebut,
untuk pasien-pasien yang berusia 16 hingga 65 tahun dan tidak mengalami sindrom
pasca-konkusio, kecuali nyeri kepala, dan tidak memiliki tanda cedera eksternal
ataupun fraktur basis kranium, serta pemeriksaan neurologis menunjukkan hasil
normal, maka frekuensi untuk melakukan intervensi bedah saraf sangat rendah
(<1 16="" akal="" anak-anak="" antikoagulan="" atau="" beraktivitas="" berupa="" berusia="" cedera="" ct="" cukup="" dan="" dapat="" dari="" dengan="" direkomendasikan="" hal="" intoksikasi="" kecenderungan="" kemungkinan="" kurang="" manifestasi="" masuk="" melakukan="" memiliki="" mengalami="" menggunakan="" merupakan="" normal="" obat="" p="" pasca-keluar="" pasien="" pemeriksaan="" pencitraan="" perdarahan.="" rumah="" rutin="" sakit="" scan.="" sehingga="" serebral="" tahun="" tidak="" untuk="" yang="">
1>
Observasi
Pasca-Konkusio
Durasi dan cara
pemantauan pasien pasca-konkusio sangat bergantung pada periode penurunan
kesadaran, amnesia, dan keberadaan cedera sistemik. Pasien yang memiliki hasil
pemeriksaan neurologis yang normal pada umumnya cukup diobservasi selama dua
jam dan dapat dipulangkan selama ada yang dapat mengawasinya di rumah. Kita
juga dapat membuat instruksi tertulis mengenai daftar gejala yang patut
diwaspadai dan pasien harus balik ke rumah sakit jika gejala tersebut timbul.
Adapun gejala yang harus diwaspadai antara lain peningkatan nyeri kepala,
muntah berulang, kelemahan, kebingungan, penurunan kesadaran, dan timbulnya
cairan dari hidung atau telinga yang menandakan bahwa telah terjadi kebocoran
cairan serebrospinalis. Nyeri kepala dan iritabilitas lazim terjadi dalam
beberapa hari setelah konkusio, terutama pada anak. Pada umumnya
direkomendasikan agar pasien tidak melakukan aktivitas sehari-hari hingga bebas
dari rasa sakit kepala dan pusing, namun tidak ada bukti yang mengindikasikan
bahwa memulangkan pasien ke rumah lebih awal dapat menimbulkan bahaya.
Timbulnya
penurunan kesadaran, hemiplegia, atau afasia yang onsetnya masih baru
kemungkinan besar berhubungan dengan hematoma epidural atau subdural yang
onsetnya lambat dan hal ini membutuhkan pemeriksaan yang lebih hati-hati, yang
disertai oleh pencitraan. Jika tanda-tanda fokal tersebut tidak berasal dari
perdarahan intraserebral, maka kita dapat mempertimbangkan adanya diseksi
arteri karotis yang terselubung. Ketika pencitraan otak dan vaskuler servikal
serta serebral menunjukkan hasil yang normal, maka kemungkinan besar gejala
yang dialami oleh pasien merupakan suatu fenomena yang menyerupai migrain.
Temuan CT scan
tertentu dapat mempengaruhi durasi observasi dan terkadang mengharuskan pasien
untuk dirawat inap. Kontusio yang berukuran kecil pada otak atau perdarahan
subaraknoid yang terbatas dapat ditemukan pada 5% kasus. Cedera-cedera seperti
itu biasanya tidak menimbulkan masalah neurologis, selain nyeri kepala, namun
pasien biasanya perlu dirawat inap selama satu malam untuk diobservasi, karena
benturan yang dialami oleh pasien pastinya lebih keras. Fraktur yang melewati
alur arteri meningea media sangat beresiko mengalami hematoma epidural. Follow
up pencitraan biasanya harus dilakukan pada lesi intrakranial seperti itu,
hanya saja hingga saat ini masih belum dapat ditentukan kapan pencitraan harus
dilakukan dan apa manfaat dari tindakan tersebut.
Sindrom Pasca-konkusio (instabilitas nervus
pasca-traumatik)
Sindrom
pasca-kontusio terdiri atas beberapa gejala yang dapat mendapat membatasi
pasien, seperti nyeri kepala, rasa pusing, dan kesulitan berkonsentrasi, selama
beberapa hari atau minggu (tabel 2). Frekuensi dan perjalanan sindrom
pasca-trauma hingga saat ini masih belum diketahui. Pada suatu serial kasus,
diketahui bahwa insidensi nyeri kepala dan rasa pusing dapat mencapai 90%
selama bulan pertama, dan menurun menjadi 25% selama tahun pertama atau
beberapa tahun setelahnya, dan insidensi gangguan memori berkisar antara 4
hingga 59%. Jika telah terjadi selama lebih dari beberapa minggu, maka
gejala-gejala tersebut dapat bertahan hingga beberapa bulan dan cenderung
resisten terhadap terapi, meskipun tingkat keparahannya mengalami penurunan. Gangguan
kompensasi dan litigasi berhubungan dengan gejala yang sifatnya persisten. Di
negara-negara yang litigasinya rendah, maka insidensi kecacatan pasca-konkusio
cenderung lebih rendah dan masalah nyaris tidak ditemukan pada anak-anak yang
berusia muda. Meskipun begitu, kesulitan konsentrasi tetap saja menjadi masalah
yang cukup pelik dan hal tersebut tetap dapat ditemukan pada pasien yang
menjalani uji neuropsikologis dalam beberapa bulan setelah konkusio.
Kecemasan dan
depresi dilaporkan terjadi pada lebih dari sepertiga pasien yang memiliki
gejala pasca-konkusio persisten, namun sulit untuk menentukan apakah gejala
psikiatrik tersebut telah terjadi sebelum cedera atau setelah cedera. Gejala
pasca-konkusio lebih sering ditemukan pada pasien yang mengalami preokupasi dan
disertai kerusakan otak atau pasien yang mengalami intensifikasi gejala ketika
sedang bergiat secara mental atau fisik.
Ketidakseimbangan
merupakan pertanda telah terjadi kerusakan vestibuler (konkusio vestibuler).
Pasien dengan gangguan tersebut biasanya mengalami vertigo atau merasa berputar
ketika sedang berjalan atau berkendara. Kerusakan vestibuler terlihat jelas
pada pasien yang mengalami gangguan reflesk vestibulo-okuler, yang dapat diuji
dengan cara memalingkan kepala pasien hingga beberapa derajat dengan cepat ke
satu sisi, sambil mata pasien fokus pada satu titik tetap, lalu kita
memperhatikan perubahan fiksasi pasien.
Data dari
percobaan terkontrol yang dapat digunakan sebagai panduan terapi pasien sindrom
pasca-konkusio hingga saat ini masih terbatas. Namun upaya meyakinkan pasien
dan edukasi mengenai efek konkusio sejak stadium awal penyakit dapat menurunkan insidensi dan durasi gejala pada
bulan ke-enam. Banyak pengalaman klinis yang menunjukkan bahwa analgesik lemah
cukup bermanfaat untuk mengatasi nyeri kepala, menghindari morphine dan
penggunaan meclizine, promethazine (Phenergan) serta latihan vestibuler dapat
membantu mengatasi rasa pusing, hanya saja semua terapi tersebut belum diteliti
secara menyeluruh pada pasien sindrom pasca-konkusio. Antidepresan dapat
digunakan untuk pasien yang mengalami pemanjangan durasi gejala yang disertai
rasa cemas, sulit tidur, konsentrasi rendah, dan nyeri kepala pasca-cedera.
Pada pasien yang memiliki riwayat migraine, konkusio dapat memicu timbulnya
rasa nyeri kepala yang lebih lama. Beberapa pengalaman klinis mendukung
pengguna terapi untuk migrain yang terjadi secara spontan (triptan,
anti-konvulsan, β-bloker, CCB atau kortikosteroid).
Konkusio Saat Melakukan Kegiatan Atletik
Atlet yang
mengalami konkusio memiliki insidensi yang sedikit lebih tinggi untuk mengalami
konkusio lanjutan selama menjalani musim pertandingan yang sama. Penelitian
yang dilakukan terhadap ratusan atlet profesional dan amatir yang pernah
mengalami konkusio menunjukkan bahwa fungsi kognitif dan motorik mereka berhasil
pulih setelah beberapa minggu. Beberapa penelitian terhadap pemain rugbi dan
sepakbola menunjukkan bahwa mereka mengalami penurunan skor dalam uji
neuropsikologi setelah terjadinya konkusio, namun pada penelitian lain yang
dilakukan terhadap pemain bola Australia, justru tidak menemukan asosiasi
seperti itu. Penurunan fungsi kognitif yang terjadi setelah konkusio berulang
juga lebih sering ditemukan pada para petinju yang mengalami beberapa kali
kekalahan KO. Ada juga kekhawatiran terhadap benturan kedua yang terjadi dalam
waktu singkat, di mana hal tersebut bisa saja menyebabkan kerusakan neurologis
yang membahayakan.
Hanya ada
sedikit data yang dapat memberikan panduan mengenai keputusan untuk menentukan
kapan seorang atlit bisa kembali bermain setelah terjadinya konkusio. Evaluasi
di pinggir lapangan pada umumnya mencakup uji fungsi mental dan koordinasi
serta uji provokasi gejala nyeri kepala, pusing, atau ketidakstabilan saat
bergiat (tabel 3). Rekomendasi yang diberikan pada umumnya bersifat konservatif,
yang merefleksikan adanya kekhawatiran terhadap timbulnya konkusio kedua jika
atlet terus melanjutkan pertandingan.
Area yang Belum Pasti
Lesi serebral
yang berhubungan dengan cedera otak traumatik berat sudah pasti dapat merubah
fungsi kognitif dan kepribadian seseorang, namun efek konkusio hingga saat ini
masih belum jelas. Kekhawatiran yang ada saat ini adalah adanya kemungkinan
terjadinya penurunan fungsi kognitif yang sifatnya persisten sebagai akibat
dari konkusio tunggal atau berulang. Besarnya resiko mikrotrauma saat terjadi
konkusio sulit untuk ditentukan karena hanya ada beberapa penelitian yang
pernah melakukan pengukuran terhadap penampilan atlit sebelum dan setelah
cedera yang kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian yang
memiliki desain yang baik, tidak berhasil menunjukkan bahwa mikrotrauma
berhubungan dengan penurunan fungsi intelektual. Durasi istirahat atlit
pasca-konkusio juga hingga saat ini masih belum bisa ditentukan. Selain itu,
penyebab dan penatalaksanaan yang optimal terhadap gejala pasca-konkusif hingga
saat ini masih belum jelas.
Panduan
American Academy
of Neurology, the Canadian Academy of Sport Medicine, dan beberapa simposium
internasional telah mengembangkan suatu rekomendasi untuk mengevaluasi dan pemberian
penatalaksanaan terhadap atlit yang mengalami konkusio. Panduan ini berasal
dari opini para ahli karena penelitian mengenai hal ini masih sangat jarang dan
belum ada sistem pengkastaan rekomendasi yang dapat digunakan dalam panduan
tersebut. Rekomendasi yang berasal dari American Academy of Neurology (Tabel 3)
hingga saat ini masih dalam tahap revisi, hanya saja pada panduan itu tidak ada
satu pendekatan khusus yang diberikan untuk membuat keputusan saat melakukan
penanganan terhadap atlet yang sedang ditandu keluar dari lapangan.
Ringkasan dan Rekomendasi
Pasien dalam
vinyet ini mengalami konkusio yang diperberat oleh kejang, hanya saja pada
pemeriksaan neurologis ditemukan masih dalam batas normal. Karena pasien telah
berusia di atas 60 tahun dan mengalami beberapa memar pada wajah dan kulit
kepala, serta ada riwayat amnesia retrograde, maka pasien ini wajib diperiksa
dengan CT scan, berdasarkan aturan New Orleans dan Canadian. Karena pada
pemeriksaan fisik dan CT scan menunjukkan hasil yang normal, maka pasien dapat
dipulangkan namun harus tetap diawasi oleh orang yang dapat dipercaya, yang
telah diberikan instruksi tertulis agar pasien diperiksa sebanyak beberapa kali
dalam 24 jam berikutnya dan harus kembali ke rumah sakit jika timbul gejala
penurunan kesadaran, muntah, kebingungan, kelemahan, atau peningkatan rasa
nyeri di kepala. Tidak ada indikasi untuk memberikan antikonvulsan, namun
sebaiknya pasien diberikan analgesik non-narkotika. Pasien juga harus
diberitahukan bahwa rasa nyeri di kepala, rasa pusing, dan kesulitan
berkonsentrasi akan terus dialami dalam beberapa hari hingga beberapa minggu.
Pasien dianjurkan untuk beristirahat dulu dalam beberapa hari dan mengurangi
aktivitas berat, jika ada litigasi, maka sebaiknya cepat diselesaikan. Karena
tidak ada panduan penatalaksanaan pasca-konkusio, maka cukup masuk akal untuk
merawat pasien yang mengalami pusing dan nyeri kepala persisten dengan
menggunakan strategi medikasi dan non-farmakologi untuk mengatasi gejala
tersebut. Jika konsentrasi pasien terganggu selama beberapa minggu, maka
sebaiknya dilakukan uji neuropsikologi untuk mencatat dan memantau defisit
konsentrasi.